Selasa, 24 Juli 2012

Harapanku Tetap Jadi Harapan Ibu : Surat kedua


Ibu, apa kabar?
Semoga kabarmu sebaik aku disini.
Ini surat kedua yang kutulis yang mungkin tidak akan sampai padamu. Aku memang sengaja menyimpannya dan masih mencari waktu terbaik untuk mu membacanya.
Ya, anggap ini sebuah dalih karena yang sebenarnya aku masih belum cukup berani mengutarakan surat ini, entah karena gengsi, malu atau bahkan takut.
Aku tidak sanggup bayangkan bagaimana reaksimu membaca semua suratku yang tak tersampaikan padamu bu.
Padahal aku tau, kau tidak akan murka ataupun menertawakan apa yang aku tulis.
Ibu, aku memang tidak pandai berkata-kata manis sekedar melegakan hatimu.
Aku memang masih belum cukup hebat dalam hal membahagiakanmu.
Dan aku memang tidak selalu bersikap baik saat menghabiskan waktu bersamamu.
Tapi aku akan selalu berusaha tersenyum bahagia di hadapmu, walau tak jarang tangis terselip dibaliknya tersunggingnya bibir ini.

Jangan khawatir bu, aku akan bahagia selama Ibu juga berbahagia, Memang terdengar sedikit klise, tapi percaya lah bu. Bahagiaku ada karena tumbuh diatas bahagiamu dan bahagiamu adalah tujuan akhir dari semua perjuanganku.Maka dari itu, tetaplah sehat dan tetaplah ada di jangkauan mataku sampai aku berhasil membahagiakanmu. Satu hal lagi bu, aku selalu menyisipkan pesan ini dalam suratku, tetaplah jadi tulang rusuk ayah hingga kejamnya maut merenggut.

Terima kasih, aku merindukanmu.
"Hingga detik ini  yang aku harapkan hanya agar kau selalu mengharapkanku menjadi harapanmu."

Anakmu yang sedang berjuang untukmu,
Andra


(Andra Sheilamona / Solo, Juli 2012)

Senin, 23 Juli 2012

Sedingin Neraka


"Cinta tetap akan terlihat bodoh jika si lakon tak mampu menindaklanjutinya dengan benar, Sekalipun ia seorang jenius"


Aku ini memang orang yang pandai,
Tapi aku tahu kalau engkau tahu bahwa aku tidak pandai dalam berpura-pura.
Berpura-pura tidak mencintai lagi semisal.
Bila aku punya 4 tangan, akan kuacungkan ke-4 ibu jariku untukmu.
Itu bentuk penilaianku untuk kepura-puraanmu.
Engkau tahu, biasanya aku akan tetap memaksa untuk lebih tahu,
tapi kali ini aku akan diam dan meminta apa yang kau tahu.

Bisa engkau sejenak mengajariku? Berpura-pura sepertimu yang berhasil
berpura-pura tidak mencintaiku.
Bisa engkau sejenak mengajariku? Memalingkan wajah angkuh tiap kita beradu pandang.
Bisa engkau sejenak mengajariku? Bersikap dingin setiap kita bertegur sapa.

Ah, bagaimana bisa engkau begitu dingin?
Dingin, dingin sekali...
Sedingin neraka yang bahkan tak mampu kekecap dengan bertelanjang sekalipun.
Dingin yang mau merontokan tiap jangka tulangku, menggertakan gigi-gigiku,
dan meremangkan bulu romaku.
Dingin yang malah membuatku rindu, rindu akan dekapan hangatmu.

Apakah aku harus terus berjuang dalam kepura-puraan,
yang perlahan akan mengubahku menjadi penipu ulung.
Atau aku harus menjadi seorang sok tahu agar nantinya engkau bisa bangga padaku?

  (Andra Sheilamona / Solo, Juli 2012)

Kamis, 12 Juli 2012

Caraku Memandang 'Kebahagiaan'

Aku tidak menyesali sesal,
 karena hakikat sesal selalu mengekor kemana kesalahan melangkah.
Akupun tidak menyesali kesalahan,
karena kesalahan muasal dari kebahagiaan.
Tapi aku menyesali kebahagiaan,
karena bagiku bahagia hanya ekspetasi semu yang dengan sukses menipuku.

"Kebahagiaan bisa menyembuhkan segalanya, sekalipun itu luka terparahmu"
 itu yang kudengar dari mereka para pecinta yang berbahagia. Oleh sebab itu aku mulai mencari bahagia. Terus-terus hingga tanpa sadar aku menjadi gila dan munafik. Pernah satu hari kudapati bahagia, tapi hari-hari berikutnya ia hilang, entah termakan waktu atau memang aku yang telah tertipu. Seenaknya menawarkan bahagia tapi di jalan yang sama meninggalkan duka yang bahkan bahagia tidak mampu sembuhkannya. Dan dihari itu runtuh semua harapan, gambaran indah tentang 'bahagia' dan kutarik sebuah kesimpulan baru :

"Kebahagiaan hanya ekspetasi semu yang menjerumuskanmu
dan bila kau kehilangan itu seakan hilang pula nyawamu"
Persetan dengan cerita-cerita para pecinta palsu, aku sudah terlalu buta untuk memulai
dan mencari kebahagiaan. Tapi sejujurnya, aku masih menyimpan sedikit harapan
pada siapapun yang mampu merubah pemikiran ini
.

(Andra Sheilamona/ Solo, Juli 2012)

Rabu, 11 Juli 2012

Aku Mati Terkoyak Sepi

Senyuman memilukan
Tatapan kosong tak terarahkan
Tawa hambar menyuarakan
Tiada henti tersajikan
Seakan lelah dengan kepura-puraan

Sejenak kubuka topeng ini
Dan mulai berkaca..
Sejak kapan kumiliki wajah penuh derita ini?
Aku bertanya kenapa,
Ah tahuku semua jawabnya
Aku telah mati terkoyak sepi rupanya..

Menanggalkan semua tekatku yang dulu
Memilih sepi sebagai selimut paling abadi
Dengan dalih agar rindu terobati
Tanpa sadari kemunafikan menelanku perlahan
Hinggaku tenggelam, terlalu dalam

Ah, aku lelah dengan sepi
Kudapati kesia-siaan di semua usaha ini
Ya, karena memang aku benci untuk sendiri..




(Andra Sheilamona / Solo, Juli 2012)

Minggu, 01 Juli 2012

Aku Memeluk Ayah Melalui Doa : Surat Kedua.

: Ayah

Assalamualaikum Ayah,
Apa kabarmu yah? Semoga engkau baik-baik saja.
Oh ya,di surat yang lalu aku sudah mengutarakan kerinduanku padamu tapi tidak untuk surat ini, bukan berarti aku tidak merindukanmu yah. Aku masih tetap rindu dan mencintaimu ditiap hembus nafasku.

Ayah mungkin tau aku bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi.
Ya, memang bukan ketidaksengajaan yang mendasariku menulis surat ini.
Ingat bagaimana Ayah terlahir di bumi ini 49 tahun yang lalu?
Ingat bagaimana hangat dekapan nenek saat pertama kali Ayah menatap dunia?
Ingat bagaimana merdu azan yang kakek bisikkan ke telinga kanan Ayah?
Aku tidak bisa bayangkan betapa bahagia dan berartinya momen itu.

Ayah..
Engkau jangan heran bagaimana aku tau semua itu.
Nenek, ya nenek lah pelaku yang dengan bangga menceritakan bagaimana jagoan kecilnya terlahir. Banyak hal yang belum bisa kita bincangkan. Selain masalah jarak dan waktu, ada gengsi yang masih jadi dinding penghalang. Aku ingin sekali menghancurkan dinding itu, dan barangkali dengan surat ini bisa merobohkannya atau setidaknya sedikit menggoyahkannya.

Yah, hampir setengah abad kau melihat indahnya dunia, tapi itu tidak berarti apa-apa bagiku selama aku belum bisa jadi harapan yang kau harapkan. Jadi, tetaplah hidup hingga setengah abad lagi atau setidaknya hingga kau menimang cucu-cucumu. Janga biarkan cucu-cucumu tumbuh tanpa mengenal hangatnya kasih sayang seorang kakek.

Dan yang terakhir dan teramat penting, tetaplah sayangi Ibu dan lindungi Beliau hingga kejamnya maut memisahkan kalian berdua. Berikan aku disini sedikit doa, dan aku akan berjuang menjadi apa yang akan membahagiakan kalian.

Hingga detik ini masih sangat bangga membanggakanmu,
Selamat ulang tahun Ayah, terbangkanlah doa dan harapanmu dan biarkan Tuhan menjatuhkan pengabulannya pada hidupku. Maaf jika hanya ini yang bisa kuhadiahkan, bagaimana aku bisa memberi engkau kado bila hadiah terbaik dibumi adalah engkau.

Wassalamualaikum.

Anakmu yang sedang berjuang menjadi harapanmu

Andra.


(Andra Sheilamona / Solo, Juli 2012)